Riyadussolihin Bab 2. Taubat
Para alim-ulama berkata:
"Mengerjakan taubat itu hukumnya wajib dari segala macam dosa. Jikalau
kemaksiatan itu terjadiantara seorang hamba dan antara Allah Ta'ala saja, yakni
tidak ada hubungannya dengan hak seorang manusia yang lain, maka untuk bertaubat
itu harus menetapi tiga macam syarat, yaitu: Pertama hendaklah menghentikan
sama sekali -seketika itu juga- dari kemaksiatan yang dilakukan, kedua ialah
supaya merasa menyesal karena telah
melakukan kemaksiatan tadi dan ketiga
supaya berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk
selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada
yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya. Apabila kemaksiatan itu ada
hubungannya dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam,
yaitu tiga syarat yang tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepaskan
tanggungan itu dari hak kawannya. Maka jikalau tanggungan itu berupa harta atau
yang semisal dengan itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak tadi,
jikalau berupa dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah
mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan
daripada kawannya dan jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta
penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat
olehnya. Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam dosa, tetapi
jikalau seseorang itu bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya itupun
sah dari dosa yang dimaksudkan itu, demikian pendapat para alim-ulama yang
termasuk golongan ahlul haq, namun saja dosa-dosa yang lain-lainnya masih tetap
ada dan tertinggal - yakni belum lagi ditaubati. Sudah jelaslah dalil-dalil
yang tercantum dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma' seluruh
umat perihal wajibnya mengerjakan taubat itu.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan
bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu'min, supaya
engkau semua memperoleh kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala berfirman lagi:
"Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya."
(Hud: 3)
Dan lagi firmanNya: "Hai
sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
nashuha -yakni yang sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8)
Keterangan:
Taubat nashuha itu wajib dilakukan
dengan memenuhi tiga macam syarat sebagaimana di bawah ini, yaitu:
a.
Semua
hal-hal yang mengakibatkan terkena siksa, karena berupa perbuatan dosa jika
dikerjakan, wajib ditinggalkan secara sekaligus dan tidak diulangi lagi.
b.
Bertekad
bulat dan teguh untuk memurnikan serta membersihkan diri sendiri dari semua
perkara dosa tadi tanpa bimbang dan ragu-ragu.
c.
Segala
perbuatannya jangan dicampuri apa-apa yang mungkin dapat mengotori atau
sebab-sebab yang menjurus ke arah dapat merusakkan taubatnya itu.
13. Dari Abu Hurairah r.a. berkata:
Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya saya
itu memohonkan pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya dalam sehari
lebih dari tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
14. Dari Aghar bin Yasar al-Muzani r.a.
katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai sekalian manusia, bertaubatlah
kepada Allah dan mohonlah pengampunan daripadaNya, karena sesungguhnya saya ini
bertaubat dalam sehari seratus kali." (Riwayat Muslim)
15. Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin
Malik al-Anshari r.a., pelayan Rasulullah s.a.w., katanya: Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya
daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang jatuh di atas untanya dan
oleh Allah ia disesatkan di suatu tanah yang luas." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan
demikian: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya
ketika ia bertaubat kepadaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang
berada di atas kendaraannya -yang dimaksud ialah untanya- dan berada di suatu
tanah yang luas, kemudian kehilangan kendaraannya itu dari dirinya, sedangkan
di situ ada makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian ia
mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang
hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut. Tiba-tiba di
kala ia berkeadaan sebagaimana di atas itu, kendaraannya itu tampak berdiri di
sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat gembiranya maka ia
berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu". Ia
menjadi salah ucapannya karena amat gembiranya."
Keterangan:
Jadi kegembiraan Allah Ta'ala di kala
mengetahui ada hambaNya yang bertaubat itu adalah lebih sangat dari kegembiraan
orang yang tersebut dalam cerita di atas itu.
16. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais
al-Asy'ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala
itu membeberkan tanganNya -yakni kerahmatanNya- di waktu malam untuk menerima
taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga membeberkan
tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan
di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah
barat -yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, karena setelah ini terjadi,
tidak diterima lagi taubatnya seorang." (Riwayat Muslim)
17. Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit
dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang itu." (Riwayat
Muslim)
Keterangan:
Uraian dalam hadits di atas sesuai
dengan firman Allah dalam al-Quran al-Karim, surat Nisa', ayat 18 yang
berbunyi: "Taubat itu tidaklah diterima bagi orang-orang yang mengerjakan
kejahatan, sehingga di kala salah seorang dari mereka itu telah didatangi
kematian -sudah dekat ajalnya dan ruhnya sudah di kerongkongan- tiba-tiba ia
mengatakan: "Aku sekarang bertaubat."
18. Dari Abu Abdur Rahman yaitu
Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w.,
sabdanya: "Sesungguhnya Allah 'Azzawajalla itu menerima taubatnya seorang
hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya -yakni ketika akan
meninggal dunia." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa
ini adalah hadits hasan.
19. Dari Zir bin Hubaisy, katanya:
"Saya mendatangi Shafwan bin 'Assal r.a. perlu menanyakan soal mengusap
dua buah sepatu khuf (but). Shafwan berkata: "Apakah yang menyebabkan
engkau datang ini, hai Zir?" Saya menjawab: "karena ingin mencari
ilmu pengetahuan." Ia berkata lagi: "Sesungguhnya para malaikat itu
sama meletakkan sayap-sayapnya -yakni berhenti terbang dan ingin pula
mendengarkan ilmu atau karena tunduk menghormat- kepada orang yang menuntut
ilmu, karena ridha dengan apa yang dicarinya." Saya berkata:
"Sebenarnya saya sudah tergerak dalam hatiku akan mengusap di atas dua
buah sepatu khuf itu sehabis buang air besar atau kecil. Engkau adalah termasuk
salah seorang sahabat Nabi s.a.w., maka dari itu saya datang ini untuk
menanyakannya kepadamu. Apakah engkau pernah mendengar beliau s.a.w.
menyebutkan persoalan mengusap sepatu khuf itu daripadanya?" Shafwan
menjawab: "Ya pernah. Rasulullah s.a.w. menyuruh kita semua, jikalau kita
sedang dalam berpergian, supaya kita jangan melepaskan sepatu khuf kita selama
tiga hari dengan malamnya sekali, kecuali jikalau kita terkena janabah, tetapi
kalau hanya karena membuang air besar atau kecil atau karena sehabis tidur,
tidak perlu dilepaskan." Saya berkata lagi: "Apakah engkau pernah
mendengar beliau s.a.w. menyebutkan persoalan cinta?" Dia menjawab:
"Ya pernah. Pada suatu ketika kita bersama dengan Rasulullah s.a.w. dalam
berpergian. Di kala kita berada di sisinya itu, tiba-tiba ada seorang a'rab
(orang Arab dari pegunungan) memanggil beliau itu dengan suara yang keras
sekali, katanya: "Hai Muhammad." Rasulullah s.a.w. menjawabnya dengan
suara yang sekeras suaranya itu pula: "Mari kemari". Saya berkata
pada orang a'rab tadi: "Celaka engkau ini, perlahankanlah suaramu, sebab
engkau ini benar-benar ada di sisi Nabi s.a.w., sedangkan aku dilarang semacam
ini -yakni bersuara keras-keras di hadapannya-." Orang a'rab itu berkata:
"Demi Allah, saya tidak akan memperlahankan suaraku." Kemudian ia
berkata kepada Nabi s.a.w.: "Ada orang mencintai sesuatu golongan, tetapi
ia tidak dapat menyamai mereka -dalam hal amal perbuatannya serta cara mencari
kesempurnaan kehidupan dunia dan akhiratnya." Nabi s.a.w. menjawab:
"Seseorang itu dapat menyertai orang yang dicintai olehnya besok pada hari
kiamat." Tidak henti-hentinya beliau memberitahukan apa saja kepada kita,
sehingga akhirnya menyebutkan bahwa di arah barat itu ada sebuah pintu yang
perjalanan luasnya yakni sekiranya seorang yang berkendaraan berjalan hendak
menempuh jarak luasnya itu, maka jarak antara dua ujung pintu tadi adalah
sejauh empat puluh atau tujuh puluh tahun." Salah seorang yang
meriwayatkan hadits ini yaitu Sufyan mengatakan: "Di arah Syam pintu itu
dijadikan oleh Allah Ta'ala sejak hari Dia menciptakan semua langit dan bumi,
senantiasa terbuka untuk taubat, tidak pernah ditutup sehingga terbitlah
matahari dari sebelah barat yakni dari dalam pintu tadi." Diriwayatkan
oleh Imam Tirmidzi dan lain-lainnya dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
ini adalah hasan shahih.
20. Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin
Sinan al-Khudri r.a. bahwasanya Nabiyullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang
lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh sembilan puluh sembilan
manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi,
lalu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. Iapun mendatanginya dan selanjutnya
berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia,
apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak
dapat." Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia
telah menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu ia
bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian
ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya
ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih diterima taubatnya. Orang alim
itu menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara
dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah begini-begini, sebab di
situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah Allah Ta'ala, maka
menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan mereka dan janganlah
engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang
buruk." Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah sampai separuh
perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian. Kemudian bertengkarlah untuk
mempersoalkan diri orang tadi malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan -yakni
yang bertugas memberikan kerahmatan dan bertugas memberikan siksa-, malaikat
kerahmatan berkata: "Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil
menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala." Malaikat siksaan berkata:
"Bahwasanya orang ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan
sedikitpun." Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka dalam
bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara
malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya -untuk
menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua antara dua
tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah
untuknya- maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau
lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan."
Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut
adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat
kerahmatan." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat yang shahih
disebutkan demikian: "Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja
pada pedesaan yang baik itu- yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia
termasuk golongan penduduknya." Dalam riwayat lain yang shahih pula
disebutkan: Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini -tempat asalnya-
supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini -tempat yang hendak dituju-
supaya engkau mendekat -maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang sehingga
kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut sehingga
kalau diukur menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: "Ukurlah antara
keduanya." Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini
-yang dituju- adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang
itupun diampunilah dosa-dosanya." Dalam riwayat lain lagi disebutkan:
"Orang tersebut bergerak -amat susah payah karena hendak mati- dengan
dadanya ke arah tempat yang dituju itu."
Keterangan:
Uraian hadits ini menjelaskan perihal
lebih utamanya berilmu pengetahuan dalam seluk-beluk agama, apabila
dibandingkan dengan terus beribadah tanpa mengetahui bagaimana yang semestinya
dilakukan. Juga menjelaskan perihal keutamaan 'uzlah atau mengasingkan diri di
saat keadaan zaman sudah bisa dikatakan rusak binasa dan kemaksiatan serta
kemungkaran merajalela di mana-mana.
21. Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik
dan ia -yakni Abdullah- adalah pembimbing Ka'ab r.a. dari golongan anak-anaknya
ketika Ka'ab -yakni ayahnya itu- sudah buta matanya, katanya: "Saya
mendengar Ka'ab bin Malik r.a. menceritakan perihal peristiwanya sendiri ketika
membelakang -artinya tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam peperangan
Tabuk." Ka'ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang -tidak
mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam suatu peperanganpun kecuali dalam peperangan
Tabuk. Hanya saja saya juga pernah tidak mengikuti dalam peperangan Badar,
tetapi beliau s.a.w. tidak mengolok-olokkan seorangpun yang tidak mengikutinya
itu - yakni Badar. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. keluar bersama kaum Muslimin
menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Ta'ala mengumpulkan antara
mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak ditentukan. Saya juga ikut
menyaksikan bersama Rasulullah s.a.w. di malam 'aqabah di waktu kita berjanji
saling memperkokohkan Islam dan saya tidak senang andaikata tidak mengikuti
malam 'aqabah itu sekalipun umpamanya saya ikut menyaksikan peperangan Badar
dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu lebih termasyhur sebutannya di
kalangan para manusia daripada malam 'aqabah tadi. Perihal keadaanku ketika
saya tidak mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk ialah bahwa saya
sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku
sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah
mengumpulkan dua buah kendaraan sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang
untuk peperangan ini saya dapat mengumpulkan keduanya. Tidak pula Rasulullah
s.a.w. itu menghendaki suatu peperangan, melainkan tentu beliau berniat pula
dengan peperangan yang berikutnya sehingga sampai terjadinya peperangan Tabuk.
Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu dalam keadaan panas yang
sangat dan menghadapi suatu perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah
yang sukar memperoleh air dan tentulah pula akan menghadapi musuh yang
jumlahnya amat besar sekali. Beliau s.a.w. kemudian menguraikan maksudnya itu
kepada seluruh kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka
dapat bersiap untuk menyediakan perbekalan peperangan mereka. Beliau s.a.w.
memberitahukan pada mereka dengan tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang
menyertai Rasulullah s.a.w. itu banyak sekali, tetapi mereka itu tidak
terdaftarkan dalam sebuah buku yang terpelihara." Yang dimaksud oleh Ka'ab
ialah adanya buku catatan yang berisi daftar mereka itu. Ka'ab berkata:
"Maka sedikit sekali orang yang ingin untuk tidak menyertai peperangan
tadi, melainkan ia juga menyangka bahwa dirinya akan tersamarkan, selama tidak
ada wahyu yang turun dari Allah Ta'ala -maksudnya karena banyaknya orang yang
mengikuti, maka orang yang berniat tidak mengikuti tentu tidak akan diketahui
oleh siapapun sebab catatannyapun tidak ada-. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam
peperangan Tabuk itu di kala buah-buahan sedang enak-enaknya dan
naungan-naungan di bawahnya sedang nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali
pada buah-buahan serta naungan itu. Rasulullah s.a.w. bersiap-siap dan sekalian
kaum Muslimin juga demikian. Saya mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula
dengan beliau, tetapi saya lalu mundur lagi dan tidak ada sesuatu urusanpun
yang saya selesaikan, hanya dalam hati saya berkata bahwa saya dapat
sewaktu-waktu berangkat jikalau saya menginginkan. Hal yang sedemikian itu
selalu saja mengulur-ulurkan waktu persiapanku, sehingga orang-orang giat
sekali untuk mengadakan perbekalan mereka, sedangkan saya sendiri belum ada
persiapan sedikitpun. Kemudian saya pergi lagi lalu kembali pula dan tidak pula
ada sesuatu urusan yang dapat saya selesaikan. Keadaan sedemikian ini terus-menerus
menyebabkan saya mengulur-ulurkan waktu keberangkatanku, sehingga orang-orang
banyak telah bergegas-gegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti peperangan
itu. Saya bermaksud akan berangkat kemudian dan selanjutnya tentu dapat
menyusul mereka yang berangkat lebih dulu. Alangkah baiknya sekiranya maksud
itu saya laksanakan, tetapi kiranya yang sedemikian tadi tidak ditakdirkan
untuk dapat saya kerjakan. Dengan begitu maka setiap saya keluar bertemu dengan
orang-orang banyak setelah berangkatnya Rasulullah s.a.w. itu, keadaan
sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku, karena saya mengetahui bahwa diriku
itu hanyalah sebagai suatu tuntunan -contoh- yang dapat dituduh melakukan
kemunafikan atau hanya sebagai seorang yang dianggap beruzur oleh Allah Ta'ala
karena termasuk golongan kaum yang lemah -tidak kuasa mengikuti peperangan.
Rasulullah s.a.w. kiranya tidak mengingat akan diriku sehingga beliau datang di
Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba
bertanya: "Apa yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malik?" Seorang dari
golongan Bani Salimah menjawab: "Ya Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian
indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya yang permai pandangannya."
Kemudian Mu'az bin Jabal r.a. berkata: "Buruk sekali yang kau katakan itu.
Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka'ab itu kecuali
yang baik-baik saja." Rasulullah s.a.w. berdiam diri. Ketika beliau s.a.w.
dalam keadaan seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan pakaian
serba putih yang digerak-gerakkan oleh fatamorgana -sesuatu yang tampak semacam
air dalam keadaan yang panas terik di padang pasir- Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Engkaukah Abu Khaitsamah?" Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah
al-Anshari dan ia adalah yang pernah bersedekah dengan sesha' kurma ketika
dicaci oleh kaum munafikin. Ka'ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita
yang sampai di telingaku bahwa Rasulullah s.a.w. telah menuju -pulang- kembali
dengan kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai mengingat-ingat
bagaimana sekiranya saya berdusta -untuk mengada-adakan alasan tidak mengikuti
peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya dapat keluar
-terhindar- dari kemurkaannya besok sekiranya beliau telah tiba. Sayapun
meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan setiap
orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah
diberitahukan bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari
jiwaku -yakni keinginan akan berdusta itu- sehingga saya mengetahui bahwa saya
tidak dapat menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun
untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan
secara sebenarnya belaka. Rasulullah s.a.w. itu apabila datang dari perjalanan,
tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian bershalat dua rakaat, kemudian
duduk di hadapan orang banyak. Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu,
maka datanglah padanya orang-orang yang membelakang -tidak mengikuti
peperangan- untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam
mengemukakan alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada delapan
puluh lebih -tiga sampai sembilan. Beliau s.a.w. menerima alasan-alasan yang
mereka kemukakan secara terus terang itu, juga membai'at -meminta janji setia-
mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang
tersimpan dalam hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah Ta'ala.
Demikianlah sehingga sayapun datanglah menghadap beliau s.a.w. itu. Setelah saya
mengucapkan salam padanya, beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang
murka, kemudian bersabda: "Kemarilah!" Saya mendatanginya sambil
berjalan sehingga saya duduk di hadapannya, kemudian beliau s.a.w. bertanya
padaku: "Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal, bukankah engkau telah
membeli unta untuk kendaraanmu?" Ka'ab berkata: "Saya lalu menjawab:
Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi
selain Tuan dari golongan ahli dunia, sesungguhnya saya berpendapat bahwa saya
akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan.
Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya
ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa andaikata saya memberitahukan
kepada Tuan dengan suatu cerita bohong pada hari ini yang Tuan akan merasa rela
dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir akan memurkai Tuan
karena perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya memberitahukan kepada Tuan
dengan cerita yang sebenarnya yang dengan demikian itu Tuan akan murka atas
diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah menginginkan keakhiran yang
baik dari Allah 'Azzawajalla. Demi Allah, saya tidak beruzur sedikitpun
-sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum
merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya itu, yakni
di waktu saya membelakang daripada Tuan -sehingga jadi tidak ikut
berangkat." Ka'ab berkata: "Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: Tentang
orang ini, maka pembicaraannya memang benar -tidak berdusta. Oleh sebab itu
bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang
dirimu." Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan
mengikuti jejakku, mereka berkata: "Demi Allah, kita tidak menganggap bahwa
engkau telah pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini.
Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja
kepada Rasulullah s.a.w. sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang
yang tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk
menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah s.a.w. suka memohonkan pengampunan
kepada Allah untukmu. Ka'ab berkata: "Demi Allah, tidak henti-hentinya
orang-orang itu mengolok-olokkan diriku -karena menggunakan cara yang dilakukan
sebagaimana di atas yang telah terjadi itu- sehingga saya sekali hendak kembali
saja kepada Rasulullah s.a.w.- untuk mengikuti cara orang-orang Bani Salimah
itu, agar saya mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata kepada orang-orang
itu: "Apakah ada orang lain yang menemui peristiwa sebagaimana hal yang
saya temui itu?" Orang-orang itu menjawab: "Ya, ada dua orang yang
menemui keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan
lalu terhadap keduanya itupun diucapkan -oleh Rasulullah s.a.w.- sebagaimana
kata-kata yang diucapkan padamu." Ka'ab berkata: "Siapakah kedua
orang itu?" Orang-orang menjawab: "Mereka itu ialah Murarah bin
Rabi'ah al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi." Ka'ab berkata:
"Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang itu adalah
orang-orang shahih dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan
keduanya dapat dijadikan sebagai contoh -dalam keberanian dan lain-lain."
Ka'ab berkata: "Saya pun lalu terus pergi di kala mereka telah selesai
menyebut-nyebutkan tentang kedua orang tersebut di atas di mukaku. Rasulullah
s.a.w. melarang kita -kaum Muslimin- untuk bercakap-cakap dengan ketiga orang
diantara orang-orang yang sama membelakang -tidak mengikuti perjalanan- beliau
itu." Ka'ab berkata: "Orang-orang sama menjauhi kita," dalam
riwayat lain ia berkata: "Orang-orang sama berubah sikap terhadap kita
bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan
diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya.
Kita bertiga berhal -berkeadaan- demikian itu selama lima puluh malam -dengan
harinya. Adapun dua kawan saya, maka keduanya itu menetap saja dan selalu
duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Tentang saya sendiri, maka saya adalah
yang termuda di kalangan kita bertiga dan lebih tahan -mendapatkan ujian. Oleh
sebab itu sayapun keluar serta menyaksikan shalat jamaah bersama kaum Muslimin
lain-lain dan juga suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tidak seorangpun yang
mengajak bicara padaku. Saya pernah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan
mengucapkan salam padanya dan beliau ada di majlisnya sehabis shalat, kemudian
saya berkata dalam hatiku, apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk
menjawab salamku itu ataukah tidak. Selanjutnya saya bershalat dekat sekali
pada tempatnya itu dan saya mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya
mulai mengerjakan shalat, beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh
padanya, beliaupun lalu memalingkan mukanya dari pandanganku. Demikian halnya,
sehingga setelah terasa amat lama sekali penyeteruan kaum Muslimin itu terhadap
diriku, lalu saya berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu
Qatadah. Ia adalah anak pamanku -jadi sepupunya- dan ia adalah orang yang tercinta
bagiku diantara semua orang. Saya memberikan salam padanya, tetapi demi Allah,
ia tidak menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: "Hai Abu
Qatadah, saya hendak bertanya padamu karena Allah, apakah engkau mengetahui
bahwa saya ini mencintai Allah dan RasulNya s.a.w.?" Ia diam saja, lalu
saya ulangi lagi dan bertanya sekali iagi padanya, iapun masih diam saja.
Akhirnya saya ulangi lagi dan saya menanyakannya sekali lagi, lalu ia berkata:
"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui tentang itu." Oleh sebab
jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku dan saya meninggalkannya sehingga
saya menaiki dinding rumah tadi. Di kala saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba
ada seorang petani dari golongan petani negeri Syam (Palestina), yaitu dari golongan
orang-orang yang datang dengan membawa makanan yang hendak dijualnya di
Madinah, lalu orang itu berkata: "Siapakah yang suka menunjukkan, manakah
yang bernama Ka'ab bin Malik." Orang-orang lain sama menunjukkannya
kearahku, sehingga orang itupun mendatangi tempatku, kemudian menyerahkan
sepucuk surat dari raja Ghassan -yang beragama Kristen. Saya memang orang yang
dapat menulis, maka surat itupun saya baca, tiba-tiba isinya adalah sebagai
berikut: "Amma ba'd. Sebenarnya telah sampai berita pada kami bahwa sahabatmu
-yakni Muhammad s.a.w.- telah menyeterumu. Allah tidaklah menjadikan engkau
untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan hak-haknya.
Maka dari itu susullah kami -maksudnya datanglah di tempat kami- maka kami akan
menggembirakan hatimu." Kemudian saya berkata setelah selesai membacanya
itu: "Ah, inipun juga termasuk bencana pula," lalu saya menuju ke
dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya. Selanjutnya setelah
lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh hari, sedang waktu
agak terlambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku seorang utusan dari
Rasulullah s.a.w., terus berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w.
memerintahkan padamu supaya engkau menyendirikan -menjauhi- istrimu." Saya
bertanya: "Apakah saya harus menceraikannya atau apakah yang harus saya
lakukan?" Ia berkata: "Tidak usah menceraikan, tetapi menyendirilah
daripadanya, jadi jangan sekali-kali engkau mendekatinya." Rasulullah
s.a.w. juga mengirimkan utusan kepada kedua sahabat saya -yang senasib di atas-
sebagaimana yang dikirimkannya padaku. Oleh sebab itu lalu saya berkata pada
istriku: "Susullah dulu keluargamu -maksudnya pergilah ke tempat kedua
orang tuamu. Beradalah di sisi mereka sehingga Allah akan menentukan bagaimana
kelanjutan peristiwa ini." Istri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah
s.a.w., lalu berkata pada beliau: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin
Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya sebatang kara, tidak mempunyai
pelayan juga. Apakah Tuan juga tidak senang andaikata saya tetap
melayaninya?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak, tetapi jangan
sekali-kali ia mendekatimu -jangan berkumpul seketiduran denganmu."
Istrinya berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu demi Allah, sudah tidak
mempunyai gerak sama sekali pada sesuatupun dan demi Allah, ia senantiasa
menangis sejak terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini." Sebagian
keluargaku berkata padaku: "Alangkah baiknya sekiranya engkau meminta izin
kepada Rasulullah s.a.w. dalam persoalan istrimu itu. Rasulullah s.a.w. juga
telah mengizinkan kepada istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya."
Saya berkata: "Saya tidak akan meminta izin untuk istriku itu kepada
Rasulullah s.a.w., saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh
Rasulullah s.a.w. sekiranya saya meminta izin pada beliau perihal istriku itu
-yakni supaya boleh tetap melayani diriku? Saya adalah seorang yang masih
muda." Saya tetap berkeadaan sebagaimana di atas itu -tanpa istri- selama
sepuluh malam dengan harinya sekali maka telah genaplah jumlahnya menjadi lima
puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang bercakap-cakap dengan kita. Selanjutnya
saya bershalat Subuh pada pagi hari kelima puluh itu di muka rumah dari salah
satu rumah keluarga kami. Kemudian di kala saya sedang duduk dalam keadaan yang
disebutkan oleh Allah Ta'ala perihal diri kita itu -yakni ketika kami bertiga
sedang dikucilkan, jiwaku terasa amat sempit sedang bumi yang luas terasa amat
kecil, tiba-tiba saya mendengar suara teriakan seorang yang berada di atas
gunung Sala'- sebuah gunung di Madinah, ia berkata dengan suaranya yang amat
keras: "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah." Segera setelah mendengar
itu, sayapun bersujud -syukur- dan saya meyakinkan bahwa telah ada kelapangan
yang datang untukku. Rasulullah s.a.w. telah memberitahukan pada orang-orang
banyak bahwa taubat kita bertiga telah diterima oleh Allah 'Azzawajalla, yaitu
di waktu beliau bershalat Subuh. Maka orang-orangpun menyampaikan berita
gembira itu pada kita dan ada pula pembawa-pembawa kegembiraan itu yang mendatangi
kedua sahabatku -yang senasib. Ada seorang yang dengan cepat-cepat melarikan
kudanya serta bergegas-gegas menuju ke tempatku dari golongan Aslam - namanya
Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia menaiki gunung dan suaranya itu kiranya lebih
cepat terdengar olehku daripada datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang
padaku yakni orang yang kudengar suaranya tadi, iapun memberikan berita gembira
padaku, kemudian saya melepaskan kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk
dipakai, sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya itu. Demi
Allah, saya tidak mempunyai pakaian selain keduanya tadi pada hari itu. Maka
sayapun meminjam dua buah baju -dari orang lain- dan saya kenakan lalu
berangkat menuju ke tempat Rasulullah s.a.w. Orang-orang sama menyambut
kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok menyatakan ikut gembira padaku
sebab taubatku yang telah diterima. Mereka berkata: "Semoga gembiralah
hatimu karena Allah telah menerima taubatmu itu." Demikian akhirnya saya
memasuki masjid, di situ Rasulullah s.a.w. sedang duduk dan di sekelilingnya
ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah r.a. lalu berdiri cepat-cepat
kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku. Demi Allah
tidak ada seorangpun dari golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah
itu. Oleh sebab itu Ka'ab tidak akan melupakan peristiwa itu untuk Thalhah.
Ka'ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah s.a.w.
beliau tampak berseri-seri wajahnya karena gembiranya lalu bersabda:
"Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang pernah engkau alami
sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya: "Apakah itu
datangnya dari sisi Tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?"
Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah
'Azzawajalla". Rasulullah s.a.w. itu apabila gembira hatinya, maka
wajahnya pun bersinar indah, seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh bulan,
kita semua mengetahui hal itu. Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu
berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu ialah
saya hendak melepaskan sebagian hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan
RasulNya." Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tahanlah untukmu sendiri
sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang sedemikian itu adalah lebih baik."
Saya menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku yang ada di tanah
Khaibar." Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah, sesungguhnya
Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata benar, maka sebagai tanda
taubatku pula ialah bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang sebenarnya saja
selama kehidupanku yang masih tertinggal." Demi Allah, belum pernah saya
melihat seorangpun dari kalangan kaum Muslimin yang diberi cobaan oleh Allah
Ta'ala dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak saya menyebutkan
hal itu kepada Rasulullah s.a.w. yang jadinya lebih baik dari yang telah
dicobakan oleh Allah Ta'ala pada diriku sendiri. Demi Allah, saya tidak
bermaksud akan berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada Rasulullah
s.a.w. sampai pada hariku ini dan sesungguhnya sayapun mengharapkan agar Allah
Ta'ala senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang
masih tertinggal untukku." Ka'ab berkata; "Kemudian Allah Ta'ala
menurunkan wahyu yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah menerima
taubatnya Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikutinya -ikut berperang-
dalam masa kesulitan -sampai di firmanNya yang artinya [6];
Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Penyantun lagi Penyayang kepada mereka. Juga
Allah telah menerima taubat tiga orang yang ditinggalkan di belakang, sehingga
terasa sempitlah bagi mereka bumi yang terbentang luas ini -sampai di firmanNya
yang artinya- Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama
orang-orang yang benar." (at- Taubah: 117-119) Ka'ab berkata: "Demi
Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan padaku sama sekali setelah
saya memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk Agama Islam ini, yang
kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi perkataan benarku
yang saya sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., sebab saya tidak mendustainya,
sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana kerusakan yang
dialami oleh orang-orang yang berdusta -maksudnya ialah kerusakan agama bagi dirinya,
akhlak dan lain-lain. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada
orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata
terburuk yang pernah diucapkan kepada seorang. Allah Ta'ala berfirman yang
artinya: "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau
kembali kepada mereka, supaya engkau dapat membiarkan mereka. Sebab itu
berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnya mereka itu kotor dan tempatnya
adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang mereka lakukan. Mereka
bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada mereka, tetapi biarpun
engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak senang kepada kaum yang
fasik itu." (at- Taubah: 95-96) Ka'ab berkata: "Kita semua bertiga
ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang yang
diterima oleh Rasulullah s.a.w. perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu ketika
mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka supaya
setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah s.a.w. telah
mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga Allah memberikan keputusan dalam
peristiwa tersebut." Allah Ta'ala berfirman: "Dan juga kepada tiga
orang yang ditinggalkan." Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan firmanNya
"Tiga orang yang ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari
peperangan, tetapi Rasulullah s.a.w. yang meninggalkan kita bertiga tadi dan
menunda urusan kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang
bersumpah dan mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikan
masing-masing keuzurannya dan selanjutnya beliau s.a.w., menerima alasan-alasan
mereka tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
"Bahwasanya Rasulullah s.a.w. keluar untuk berangkat ke peperangan Tabuk
pada hari Kamis dan memang beliau s.a.w. suka sekali kalau keluar pada hari
Kamis itu." Dalam riwayat lain disebutkan pula: "Beliau s.a.w. tidak
datang dari sesuatu perjalanan melainkan di waktu siang di dalam saat dhuha dan
jikalau beliau s.a.w. telah datang, maka lebih dulu masuk ke dalam masjid,
kemudian bershalat dua rakaat lalu duduk di dalamnya."
Keterangan:
Secara jelasnya makna Khullifuu dalam
ayat di atas itu ialah: ditangguhkannya tiga orang itu perihal dimaafkannya dan
ditundanya untuk diterima taubatnya sehingga limapuluh hari limapuluh malam
lamanya. Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya orang tiga di atas oleh
Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya ketika tidak mengikuti perang Tabuk.
Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang Tabuk dan berani
bersumpah serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka macamnya, lalu
dimaafkan oleh Nabi s.a.w. dan tidak ikut dikucilkan, tidak dapat dimasukkan
dalam golongan "Tiga orang yang ditinggalkan" tersebut. Jadi diterima
atau tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum dapat dipastikan
kebenarannya, sebab yang Maha Mengetahui hanyalah Allah Ta'ala sendiri.
Jelasnya kalau benar alasannya, tentulah dimaafkan oleh Allah, sedang kalau
tidak, tentu saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu, apabila Allah
tidak mengampuninya. Adapun tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan juga
telah diterima taubatnya.
22. Dari Abu Nujaid (dengan
dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu Imran bin Hushain al-Khuza'i
radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi
Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina.
Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu
perbuatan yang harus dikenakan had -hukuman- maka tegakkanlah had itu atas
diriku." Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda:
"Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan
-kandungannya, maka datanglah padaku dengan membawanya." Wali tersebut
melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir -lalu beliau s.a.w.
memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya,
kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya. Umar
berkata pada beliau: "Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya
Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?" Beliau s.a.w. bersabda: "Ia
telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada
tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah
engkau menemukan seorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan
jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah 'Azzawajalla." (Riwayat
Muslim)
23. Dari Ibnu Abbas dan Anas bin
Malik radhiallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Andaikata
seorang anak Adam -yakni manusia- itu memiliki selembah emas, ia tentu
menginginkan memiliki dua lembah -emas lagi- dan sama sekali tidak akan
memenuhi mulutnya kecuali tanah -yaitu setelah mati- dan Allah menerima taubat
kepada orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
24. Dan dari Abu Hurairah r.a.
bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah Subhanahu wa Ta'ala tertawa
-merasa senang- kepada dua orang yang seorang membunuh pada lainnya, kemudian
keduanya dapat memasuki syurga. Yang seorang itu berperang fisabilillah
kemudian ia dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat atas orang yang
membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam dan selanjutnya dibunuh pula sebagai
seorang syahid." (Muttafaq 'alaih)
Catatan Kaki:
[6] Lengkapnya ayat-ayat 117, 118 dan
119 dari surat at-Taubah itu artinya adalah sebagai berikut: 117. Sesungguhnya
Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mengikuti
Nabi dalam masa kesulitan. Yaitu setelah hati sebagian dari mereka hampir
menyimpang, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha
Pengasih Lagi Penyayang kepada mereka. 118. Allah juga menerima
taubatnya tiga orang yang ditinggalkan di belakang sehingga bumi yang luas
terbentang ini terasa sempit oleh mereka dan mereka rasakan nafas mereka
menjadi sesak. Mereka mengetahui bahwa tidak ada tempat berlindung dari siksa
Allah melainkan kepada Allah. Kemudian Allah menerima taubat mereka supaya
mereka kembali - ke jalan yang benar -. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima
taubat lagi Penyayang. 119. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dan hendaklah kamu semua itu bersama-sama orang-orang yang benar -
kata-kata serta perbuatannya.
No comments