Riyadussolihin Bab 1.
Keikhlasan Dan Menghadirkan Niat Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
Allah Ta'ala berfirman: "Dan
tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan
tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan
menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang
benar." (al-Bayyinah: 5)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang
kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dari engkau sekalian."
[1] (al-Haj: 37)
Allah Ta'ala berfirman pula:
"Katakanlah - wahai Muhammad [2],
sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun
engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah." (ali-Imran:
29)
1. Dari Amirul mu'minin Abu Hafs
yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riah bin Abdullah
bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-'Adawi
r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda [3]:
"Bahwasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan
bahwasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka
barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun
kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia
yang hendak diperolehnya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya,
maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu."
(Muttafaq 'alaih -disepakati atas keshahihannya hadits ini karena diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim)
Muttafaq 'alaih = diriwayatkan oleh
dua orang imam ahli hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin Almughirah bin Bardizbah Alju'fi Al-Bukhari, -lazim disingkat dengan
Bukhari saja- dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi
Annaisaburi, -lazim disingkat dengan Muslim saja- radhiallahu 'anhuma dalam
kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab
hadits yang dikarangkan.
Keterangan:
Hadis di atas adalah berhubungan erat
dengan persoalan niat. Rasulullah s.a.w. menyabdakannya itu ialah karena
diantara para sahabat Nabi s.a.w. sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah
ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais.
Beliau s.a.w. mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.
Oleh karena orang itu memperlihatkan
sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun
sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu
sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara
terang-terangan oleh Rasulullah s.a.w.
Bayangkanlah, betapa anehnya orang
yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita yang ingin dikawin, sedang sahabat
beliau s.a.w. yang lain-lain dengan tujuan menghindarkan diri dari amarah kaum
kafir dan musyrik yang masih tetap berkuasa di Makkah, hanya untuk kepentingan
penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah. Bukankah tingkah-laku manusia
sedemikian itu tidak patut sama-sekali.
Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru,
maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sabat beliau s.a.w.
yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya
untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali karena
hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya.
Sekalipun datangnya hadits itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah
niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam
mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta
dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang
disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air shalat atau
wudhu', mandi, shalat dan lain-lain sebagainya.
Perlu pula kita maklumi bahwa
barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada
Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seorang itu berniat hendak
melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini
orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan hadits yang berbunyi:
"Niat seorang itu lebih baik daripada amalannya." Maksudnya:
Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak
dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang
benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya
niat atau tidaknya, agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat
para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi'i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu
dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu',
tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan)
seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya
mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja
sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan
sudah dianggap sah. Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam
mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran,
menghilangkan najis dan lain-lain.
Selanjutnya dalam amalan yang
hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak),
seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadah serta bertaqwa
kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadah bagi
dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala,
sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang
saja, maka kosonglah pahalanya.
2. Dari Ummul mu'minin yaitu ibunya
-sebenarnya adalah bibinya- Abdullah yakni Aisyah radhiallahu 'anha, berkata:
Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada sepasukan tentara yang
hendak memerangi -menghancurkan- Ka'bah, kemudian setelah mereka berada di
suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan -dalam tanah tadi- dengan yang
pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya." Aisyah bertanya:
"Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari
yang pertama sampai yang terakhir, sedang diantara mereka itu ada yang ahli
pasaran -maksudnya para pedagang- serta ada pula orang yang tidak termasuk
golongan mereka tadi -yakni tidak berniat ikut menggempur Ka'bah?"
Rasulullah s.a.w. menjawab: "Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama
sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba'ats -dibangkitkan
dari masing-masing kuburnya- sesuai niatnya masing-masing." Disepakati
atas hadits ini (Muttafaq 'alaih) -yakni disepakati keshahihannya oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim-. Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.
Keterangan:
Sayidah Aisyah diberi gelar Ummul
mu'minin, yakni ibunya sekalian orang mu'min sebab beliau adalah istri
Rasulullah s.a.w., jadi sudah sepatutnya. Beliau juga diberi nama ibu Abdullah
oleh Nabi s.a.w., sebenarnya Abdullah itu bukan puteranya sendiri, tetapi
putera saudarinya yang bernama Asma'. Jadi dengan Sayidah Aisyah, Abdullah itu
adalah kemenakannya. Adapun beliau ini sendiri tidak mempunyai seorang
puterapun.
Dari uraian yang tersebut dalam
hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang yang shalih, jika berdiam di
lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan
kemungkaran, maka apabila Allah Ta'ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum
itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi hadits ini mengingatkan
kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan,
kemungkaran dan kezaliman.
Namun demikian perihal amal
perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati
orang yang melakukannya itu. Mengenai gelar Ummul mu'minin itu bukan hanya
khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah radhiallahu 'anha belaka, tetapi juga
diberikan kepada para istri Rasulullah s.a.w. yang lain-lain.
3. Dari Aisyah radhiallahu 'anha,
berkata: Nabi s.a.w. bersabda: "Tidak ada hijrah setelah pembebasan
-Makkah-[4], tetapi yang ada ialah jihad dan niat.
Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar -oleh imam untuk
berjihad,- maka keluarlah –yakni berangkatlah." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Maknanya: Tiada hijrah lagi dari
Makkah, sebab saat itu Makkah telah menjadi perumahan atau Negara Islam.
4. Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin
Abdullah al-Anshari radhiallahu'anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi
s.a.w. dalam suatu peperangan -yaitu perang Tabuk- kemudian beliau s.a.w.
bersabda: "Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang
engkau semua tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu
lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu -yakni sama-sama memperoleh
pahala-, mereka itu terhalang oleh sakit -maksudnya andaikata tidak sakit pasti
ikut berperang." Dalam suatu riwayat dijelaskan: "Melainkan mereka
-yang tertinggal itu- berserikat denganmu dalam hal pahalanya." (Riwayat
Muslim)
Keterangan:
Hadis sebagaimana di atas, juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi s.a.w., lalu beliau bersabda:
"Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada
menempuh kita sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah, [5]
melainkan mereka itu bersama-sama dengan kita jua -jadi memperoleh pahala
seperti yang berangkat untuk berperang itu-, mereka itu terhalang oleh sesuatu
keuzuran."
5. Dari Abu Yazid yaitu Ma'an bin
Yazid bin Akhnas radhiallahu 'anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk
golongan sahabat semua. Kata saya: "Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan
beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di
sisi seorang di dalam masjid. Saya -yakni Ma'an anak Yazid- datang untuk
mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi. Ayah
berkata: "Demi Allah, bukan engkau yang kukehendaki -untuk diberi sedekah
itu." Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah s.a.w., lalu
beliau bersabda: "Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid –yakni
bahwa engkau telah memperoleh pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu- sedang
bagimu adalah apa yang engkau ambil, hai Ma'an -yakni bahwa engkau boleh terus
memiliki dinar-dinar tersebut, karena juga sudah diizinkan oleh orang yang ada
di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid tadi." (Riwayat Bukhari)
6. Dari Abu Ishak, yakni Sa'ad bin
Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin
Murrah bin Ka'ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri r.a., yaitu salah satu dari
sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu 'anhum,
katanya: Rasulullah s.a.w. datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji
wada' -yakni haji Rasulullah s.a.w. yang terakhir dan sebagai haji pamitan-
karena kesakitan yang menimpa diriku, lalu saya berkata: "Ya Rasulullah,
sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan
ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi
hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan
sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?" Beliau menjawab:
"Tidak dibenarkan." Saya berkata pula: "Separuh hartaku ya
Rasulullah?" Beliau bersabda: "Tidak dibenarkan juga." Saya
berkata lagi: "Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?" Beliau lalu
bersabda: "Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah
besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu
dalam keadaan kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada
sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan
Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang
engkau berikan untuk makanan istrimu." Abu Ishak meneruskan uraiannya:
Saya berkata lagi: "Apakah saya ditinggalkan -di Makkah- setelah
kepulangan sahabat-sahabatku itu?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya
engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang
engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan
bertambah derajat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan
-karena usia masih panjang lagi-, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang
dapat memperoleh kemanfaatan dari hidupmu itu -yakni sesama kaum Muslimin, baik
manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah- dan akan ada kaum lain-lainnya yang
memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi -yakni kaum kafir, sebab
menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai dibebaskannya Irak dan
lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan menjalankan hak dan
keadilan. Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah
mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya -yakni
menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti. Tetapi yang miskin -rugi- itu
ialah Sa'ad bin Khaulah.” Rasulullah s.a.w. merasa sangat kasihan padanya sebab
matinya di Makkah. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Sa'ad bin Khaulah itu dianggap
sebagai orang yang miskin dan rugi, karena menurut riwayat ia tidak mengikuti
hijrah dari Makkah, jadi rugi karena tidak ikutnya hijrah tadi. Sebagian
riwayat yang lain mengatakan bahwa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah
mengikuti perang Badar pula, tetapi akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus
wafat di situ sebelum dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah karena
lebih sukanya kepada Makkah sebagai tempat akhir hayatnya, padahal masih di
bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah
pula mengikuti hijrah ke Habasyah, mengikuti pula perang Badar, kemudian mati
di Makkah pada waktu haji wada' tahun 10, ada lagi yang meriwayatkan matinya
itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antara kaum Muslimin dan kaum
kafir. Jadi kerugiannya di sini ialah karena ia mati di Makkah itu, karena
kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia
berhijrah yang dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta'ala belaka.
7. Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur
Rahman bin Shakhr r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya
Allah Ta'ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk
rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian." (Riwayat Muslim)
8. Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin
Qais al-Asy'ari r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. ditanya perihal seorang
yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang
dengan tujuan kesombongan -ada yang artinya kebencian- ada pula yang berperang
dengan tujuan pamer -menunjukkan pada orang-orang lain karena ingin berpamer.
Manakah diantara semua itu yang termasuk dalam jihad fisabilillah? Rasulullah
s.a.w. menjawab: "Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat
Allah -Agama Islam- itulah yang luhur, maka ia disebut jihad
fisabilillah." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas dengan jelas
menerangkan semua amal perbuatan itu hanya dapat dinilai baik, jika baik pula
niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya. Selain itu dijelaskan
pula bahwa keutamaan yang nyata bagi orang-orang yang berjihad melawan musuh di
medan perang itu semata-mata dikhususkan untuk mereka yang berjihad
fisabilillah, yakni tiada maksud lain kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah, yaitu
Agama Islam.
9. Dari Abu Bakrah, yakni Nufai' bin
Haris as-Tsaqafi r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda : "Apabila dua orang
Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya -dengan maksud
ingin berbunuh-bunuhan- maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di
dalam neraka." Saya bertanya: "Ini yang membunuh -patut masuk neraka-
tetapi bagaimanakah halnya orang yang terbunuh -yakni mengapa ia masuk neraka
pula?" Rasulullah s.a.w. menjawab: "Karena sesungguhnya orang yang
terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya." (Muttafaq
'alaih)
10. Dari Abu Hurairah r.a., katanya:
"Rasulullah s.a.w. bersabda: "Shalatnya seorang lelaki dengan
berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya -secara sendirian atau munfarid-
dengan duapuluh lebih -tiga sampai sembilan tingkat derajatnya. Yang sedemikian
itu ialah karena apabila seorang itu berwudhu' dan memperbaguskan cara
wudhu'nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu
melainkan hendak bershalat, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke
masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya
selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan karena itu pula
dileburlah satu kesalahan daripadanya -yakni tiap selangkah tadi- sehingga ia
masuk masjid. Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala
seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia
bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan
kerahmatan Tuhan pada seorang dari engkau semua, selama masih berada di tempat
yang ia bershalat disitu. Para malaikat itu berkata: "Ya Allah,
kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah, terimalah
taubatnya." Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk
-yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan
lain-lain- dan juga selama ia tidak berhadas -yakni tidak batal wudhu'nya.
(Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Dan yang tersebut di atas adalah
menurut lafaznya Imam Muslim. Sabda Nabi s.a.w.: Yanhazu dengan fathahnya ya'
dan ha' serta dengan menggunakan zai, artinya: mengeluarkannya dan
menggerakkannya.
11. Dari Abul Abbas, yaitu Abdullah
bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu 'anhuma dari Rasulullah s.a.w.
dalam suatu uraian yang diceritakan dari Tuhannya Tabaraka wa Ta'ala -Hadis
semacam ini disebut hadits Qudsi- bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu
mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu
-yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan mana-mana yang termasuk sayyiah.
Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi
melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai
suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak
mengerjakan kebaikan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah
sebagai sepuluh kebaikan di sisiNya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat,
bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda yang amat banyak sekali. Selanjutnya
barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi
melakukannya maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai suatu kebaikan yang
sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan itu
kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta'ala sebagai satu
keburukan saja di sisiNya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Hadis di atas menunjukkan besarnya
kerahmatan Allah Ta'ala kepada kita semua sebagai umatnya Nabi Muhammad s.a.w.
Renungkanlah wahai saudaraku. Semoga kami dan Anda diberi taufik (pertolongan)
oleh Allah hingga dapat menginsafi kebesaran belas-kasihan Allah dan
fikirkanlah kata-kata ini. Ada perkataan Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda
kesungguhan Allah dalam memperhatikannya itu. Juga ada perkataan kaamitah (sempurna),
ini adalah untuk mengokohkan artinya dan sangat perhatian padanya. Dan Allah
berfirman di dalam kejahatan yang disengaja (dimaksud) akan dilakukan, tetapi
tidak jadi dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna
dikokohkan dengan kata-kata "sempurna". Dan kalau jadi dilakukan,
ditulis oleh Allah "satu kejahatan saja" dikokohkan dengan kata-kata
"satu saja" untuk menunjukkan kesedikitannya, dan tidak dikokohkan
dengan kata-kata "sempurna". Maka bagi Allah segenap puji dan karunia.
Maha Suci Allah, tidak dapat kita menghitung pujian atasNya. Dan dengan Allah
jualah adanya pertolongan.
12. Dari Abu Abdur Rahman, yaitu
Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma, katanya: Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada tiga orang dari golongan orang-orang
sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati
sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah
sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata
bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini
melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta'ala dengan menyebutkan
perbuatanmu yang baik-baik. Seorang dari mereka itu berkata: "Ya Allah.
Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya
tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada
keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya
mencari kayu -yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi
pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun
terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur.
Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seorang
sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap
dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap
pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, anak-anak kecil sama
menangis karena kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya.
Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah,
jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar
mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari
batu besar yang menutup ini." Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit,
tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua. Yang lain berkata: "Ya
Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita -jadi sepupu wanita-
yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia -dalam sebuah
riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang
amat sangat kepada wanita- kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia
menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran.
Iapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya
dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya
berhubungan intim. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai
dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk
diantara kedua kakinya- sepupuku itu lalu berkata: "Takutlah engkau pada
Allah dan jangan membuka cincin -maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka
maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini- melainkan dengan haknya
-yakni dengan perkawinan yang sah-, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia
adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya
berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang
sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah
kesukaran yang sedang kita hadapi ini." Batu besar itu kemudian membuka
lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya. Orang yang
ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan
semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia
meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga
bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia
mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku
yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari
hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba
sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku.
Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun
mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang
ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan
niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang
sedang kita hadapi ini." Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun
keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Ada beberapa kandungan yang
penting-penting dalam hadits di atas, yaitu:
a.
Kita
disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan yang sulit,
misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan, sedang
sakit dan lain-lain.
b.
Kita
disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih, agar
kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta'ala.
Bertawassul artinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan
kita dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang
ulamapun yang tidak membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang
bolehnya. Juga tidak diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya
bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan
oleh Sayidina Umar r.a. dengan bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan
segera diturunkan. Yang diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan
orang-orang shalih yang sudah wafat, maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada
Allah Ta'ala dengan perantaraan beliau-beliau yang sudah di dalam kubur agar
ikut membantu memohonkan supaya doa kita dikabulkan. Sebagian alim-ulama ada
yang membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan. Jadi bukan orang-orang
shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah Ta'ala jua, tetapi
beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni
itu orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua
alim-ulama Islam sependapat bahwa perbuatan sedemikian itu haram hukumnya.
Sebab hal itu termasuk syirik atau menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta'ala
yang Maha Kuasa Mengabulkan segala permohonan. Namun demikian hal-hal seperti
di atas hanya merupakan soal-soal furu'iyah (bukan akidah pokok), maka jangan
hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.
Catatan Kaki:
[1] Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu
jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka sembelihlah unta
sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau
Ka'bah. Kaum Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat
sebagaimana di atas.
[2] Semua uraian yang tertera antara
-.... - adalah tambahan terjemahan dari kami sendiri untuk memudahkan
pengertiannya dan gampang memahamkannya. Harap Maklum.
[3] Saidina Umar bin Khaththab r.a. itu
adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan
sebutan Amirul mu'minin pemimpin sekalian kaum mu'minin. Beliau adalah khalifah
kedua sepeninggal Rasulullah s.a.w. Panggilan Amirul mu'minin itu lalu dicontoh
dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu 'anhuma, juga oleh para
khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu
Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar
kehormatan bagi Sayidina Umar r.a. Abu artinya bapak, sedang hafs artinya
singa. Beliau r.a. memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani
dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam
menegakkan keadilan diantara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam
meneterapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak
dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.
[4] Sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak
ada hijrah setelah pembebasan Makkah," oleh para alim-ulama dikatakan
bahwa mengenai hijrah dari daerah harb atau perang yang dikuasai oleh orang
kafir ke Darul Islam, yakni daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam adalah
tetap ada sampai hari kiamat. Oleh sebab itu hadits di atas diberikan
penakwilannya menjadi dua macam: Pertama: Tiada hijrah setelah dibebaskannya
Makkah, sebab sejak saat itu Makkah telah menjadi sebagian dari Darul Islam
atau Negara Islam, jadi tidak mungkin lagi akan terbayang tentang adanya hijrah
setelah itu. Kedua: Inilah yang merupakan pendapat tershahih, yaitu yang
diartikan bahwa hijrah yang dianggap mulia yang dituntut, yang pengikutnya itu
memperoleh keistimewaan yang nyata itu sudah terputus sejak dibebaskannya
Makkah dan sudah lampau pula untuk mereka yang ikut berhijrah sebelum
dibebaskannya Makkah itu, sebab dengan dibebaskan Makkah itu, Islam boleh
dikata telah menjadi kokoh kuat dan perkasa, yakni suatu kekuatan dan
keperkasaan yang nyata. Jadi lain sekali dengan sebelum dibebaskannya Makkah
tersebut. Adapun sabda beliau s.a.w. yang menyebutkan: "Tetapi yang ada
adalah jihad dan niat," maksudnya ialah bahwa diperolehnya kebaikan dengan
sebab hijrah itu telah terputus dengan dibebaskannya Makkah itu, tetapi
sekalipun demikian masih pula dapat dicapai kebaikan tadi dengan berjihad dan
niat yang shalih. Dalam hadits di atas jelas diuraikan adanya perintah untuk
suka berniat dalam melakukan kebaikan secara mutlak dan bahwa yang berniat itu
sudah dapat memperoleh pahala dengan hanya keniatannya itu belaka.
[5] Syi'ib (lereng) yang dimaksudkan di
sini ialah jalan di daerah pegunungan, sedang Wadi (lembah) ialah tempat yang
di situ ada airnya mengalir.
No comments